Kamis, 24 Oktober 2013

HIV-AIDS

Oleh : Ns.Liana Sriulina Br S, S.Kep

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)
ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS)

A. TINJAUAN TEORITIS MEDIS
1.      DEFENISI
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat menyebabkan AIDS. Sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma  penyakit yang muncul secara kompleks  dalam waktu relatif lama karena penurunan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)  adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibat oleh factor luar (bukan dibawa sejak lahir)
AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi human immunodeficiency virus atau HIV ( Smetzler & Bare, 2002).
AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi ( center for disease control and prevention).

2.      ETIOLOGI
Penyebab AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yakni sejenis virus RNA yang tergolong retrovirus. Dasar utama penyakit infeksi HIV ialah berkurangnya jenis sel darah putih (Limfosit T helper) yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 mempunyai pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi kebanyakan fungsi-fungsi kekebalan, sehingga kelainan-kelainan fungsional pada sel T4 akan menimbulkan tanda-tanda gangguan respon kekebalan tubuh. Setelah HIV memasuki tubuh seseorang, HIV dapat diperoleh dari limfosit terutama limfosit T4, monosit, sel glia, makrofag dan cairan otak penderita AIDS.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
a)      Lelaki homoseksual atau biseks.
b)      Orang yang ketagian obat intravena
c)      Partner seks dari penderita AIDS
d)     Penerima darah atau produk darah (transfusi).
e)       Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.

3.      MANIFESTASI KLINIK
Adanya HIV dalam tubuh seseorang tidak dapat dilihat dari penampilan luar. Orang yang terinfeksi tidak akan menunjukan gejala apapun dalam jangka waktu yang relatif lama (kurang lebih 7-10 tahun) setelah tertular HIV. Masa ini disebut masa laten. Orang tersebut masih tetap sehat dan bisa bekerja sebagaimana biasanya walaupun darahnya mengandung HIV. Masa inilah yang mengkhawatirkan bagi kesehatan masyarakat, karena orang terinfeksi secara tidak disadari dapat menularkan kepada orang lain. Dari masa laten kemudian masuk ke keadaan AIDS dengan gejala sebagai berikut:
Gejala Mayor:
1.      Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
2.      Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3.      Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
4.      Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
5.      Demensia/ HIV ensefalopati
Gejala Minor:
1.      Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2.      Dermatitis generalisata
3.      Adanya herpes zoster multi segmental dan herpes zoster berulang
4.      Kandidiasis orofaringeal
5.      Herpes simpleks kronis progresif
6.      Limfadenopati generalisata
7.      Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
8.      Retinitis virus sitomegalo

Ada beberapa Tahapan ketika mulai terinfeksi virus HIV sampai timbul gejala AIDS:
1.      Tahap 1: Periode Jendela
a)     HIV masuk ke dalam tubuh, sampai terbentuknya antibody terhadap HIV  
 dalam darah
b)                Tidak ada tanda2 khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
c)                Test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini
d)               Tahap ini disebut periode jendela, umumnya berkisar 2 minggu – 6 bulan.

2.      Tahap 2: HIV Positif (tanpa gejala) rata-rata selama 5-10 tahun:
a)        HIV berkembang biak dalam tubuh
b)        Tidak ada tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat
c)        Test HIV sudah dapat mendeteksi status HIV seseorang, karena telah terbentuk antibody terhadap HIV.
d)       Umumnya tetap tampak sehat selama 5-10 tahun, tergantung daya tahan tubuhnya (rata-rata 8 tahun, di negara berkembang lebih pendek).

3.      Tahap 3: HIV Positif (muncul gejala)
a)        Sistem kekebalan tubuh semakin turun
b)        Mulai muncul gejala infeksi oportunistik, misalnya: pembengkakan kelenjar limfa di seluruh tubuh, diare terus menerus, flu, dll
c)        Umumnya berlangsung selama lebih dari 1 bulan, tergantung daya tahan tubuhnya
4.      Tahap 4: AIDS
a)        Kondisi sistem kekebalan tubuh sangat lemah
b)        Berbagai penyakit lain (infeksi oportunistik) semakin parah.

4.      ANATOMI  FISIOLOGI
Sistem imun normal  terdiri dari organ-organ dan jaringan limfosit termasuk sumsum tulang, kelenjar timus, kelenjar getah bening, limfa, tonsil, adenoid, apendiks, pembuluh darah limfe. Limfosit T dan B diproduksi oleh sel induk disumsum tulang, dalam timus limfosit T bertambah banyak dan berdiferensiasi. HIV dibentuk oleh sebuah pusat atau inti silindris yang dikelilingi amplop lopid berbentuk bulat. Intinya bagian tengah dari sutalamini terdiri dari rangkaian asam ribonukleat (RNA). Sel induk yang terinfeksi HIV mempunyai masa hidup yang amat pendek karena HIV terus menerus menggunakan sel ini untuk bereaplikasi sebanyak 10 juta virus akan diproduksi setiap harinya. Sel-sel akan menuju kelenjar getah bening dan daerah perifer dalam 5 hari setelah pajanan. Siklus menjadi 5 fase diantaranya : binding entry, reverse transcription, replikasi, budding, dan maturasi.
HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata, sekresi vagina atau serviks, urine, ASI dan air liur. Penularan terjadi paling efisien melalui darah dan semen. Setelah virus ditularkan akan terjadi serangkaian proses yang kemudian menyebabkan infeksi.
Penularan yang dapat terjadi melalui  4 tahapan antara lain :
1.        Exit. Virus harus dapat keluar dari tubuh penderita HIV.
2.        Survive. Virus HIV harus dapat bertahan hidup dilingkungan luar tubuh penderita. Untuk dapat bertahan hidup, virus membutuhkan komponen penopang karena virus diudara bebas kontak matahari usia hidupnya sangat pendek dan jika didalam komponen darah beku, virus sanggup bertahan hidup sampai berminggu-minggu.
3.        Sufficient. Didalam jumlah lebih dari 55.000 copy sell/ml darah, daya virulensi HIV sangat tinnggi terhadap orang yang kontak.
4.        Enter. Virus dapat memasuki tubuh orang yang kontak dengan membutuhkan media seperti adanya luka pada orang yang kontak.


5.      PATOFISIOLOGI
Sel T dan makrofag serta sel dendrit / langerhans (sel imun ) adalah sel-sel yang terinfeksi HIV dan terkonsentrasi di kelenje limfe, limpa dan sumsum tulang. HIV menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka HIV menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyak kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti dengan berkurangnya fungsi sel B dan makrofag serta menurunnya fungsi sel T penolong.
Seseorang yang terinfeksi HIV dapat tetap tidak memperlihatkan gejala  atau asimptomatik selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel/ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300/ ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi yang dapat menyebabkan infeksi yang parah. Seseorang didiagnosa mengidap AIDS apabila terjadi infeksi oportunistik, kanker atau penyakit lain yang parah.

6.      PENATALAKSANAAN PENGOBATAN MEDIK

Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Untuk mencegah terpaparnya virus tersebut bisa dilakukan dengan :
1.      Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi.
2.      Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.
3.      Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4.      Tidak bertukar jarum suntik, jarum tato, dan sebagainya.
5.      Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.

Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya adalah:
1.      Pengendalian Infeksi Oportunistik: bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nosokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
2.      Terapi AZT (Azidotimidin: Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik transkriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya kurang lebih 3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3.
3.      Terapi Antiviral Baru: Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas sistem imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus. Obat-obat ini adalah :
a)       Didanosine
b)       Ribavirin
c)       Diedoxycytidine
d)       Recombinant CD 4 dapat larut.
4.      Vaksin dan Rekonstruksi Virus: Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
5.      Pendidikan untuk menghindari alkohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat, hindari stres, gizi yang kurang, alkohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
6.      Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Azidotimidin (zidovudin), videks, dan zalcitabin (dcc) adalah obat-obatan untuk infeksi HIV dengan jumlah CD4 rendah. Videks dan ddc kurang bermanfaat untuk penyakit sistem saraf pusat. Trimetoprim sulfametoksazol (Septra, Bactrim) dan pentamadin digunakan untuk pengobatan dan profilaksis pneumonia  atau Pneumocystis (PCP). Pemberian imunoglobulin secara intravena setiap bulan berguna untuk mencegah infeksi bakteri berat pada anak, selain untuk hipogamaglobulinemia.

7.      PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Pemeriksaan laboratorium menurut Mansjoer (2000), dapat dilakukan dengan dua cara :
a.       Cara langsung yaitu isolasi virus dari sampel. Umumnya dengan menggunakan microskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus adalah dengan polymerase chain reaction (PCR). Penggunaan PCR antara lain untuk;
1)      Tes HIV pada bayi karena zat anti dari ibu masih ada pada bayi sehingga menghambat pemeriksaan serologis.
2)      Menetapkan status infeksi pada individu seronegatif.
3)      Tes pada kelompok resiko tinggi sebelum terjadi sero konversi.
4)      Tes konfirmasi untuk HIV karena sensitivitas ELISA yang rendah.
b.      Cara tidak langsung yaitu dengan melihat respon zat anti spesifik test, misalnya :
1)      ELISA, sensitivitas tinggi (98,1-100%), biasanya memberikan hasil positif 2-3 buah sesudah infeksi. Hasil positif harus di konfirmasi dengan pemeriksaan Western Blot.
2)      Western Blot, spesifitas tinggi (99,6-100%). Namun, pemeriksaan ini cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Mutlak diperlukan untuk konfirmasi hasil pemeriksaan ELISA positif.
3)      Imonofivoresceni assay (IFA).
4)      Radio Imuno praecipitation assay (RIPA).
2.      Pemeriksaan laboratorium untuk mendiagnosa dan melacak virus HIV
a.       Status imun
1)      Tes fungsi sel CD4
2)      Sel T4 mengalami penurunan kemampuan untuk reaksi terhadap antigen
3)      Kadar imunoglobulin meningkat
4)      Hitung sel darah putih normal hingga menurun
5)      Rasio CD4 : CD8 menurun
3.      Complete Blood Count (CBC)
Dilakukan untuk mendeteksi adanya anemia, leukopenia dan thrombocytopenia yang sering muncul pada HIV.
4.      CD4 cell count
Tes yang paling banyak digunakan untuk memonitor perkembangan penyakit dan terapi yang akan dilakukan.
5.      Blood Culture
6.      Immune Complek Dissociaced P24 Assay
Untuk memonitor perkembangan penyakit dan aktivitas medikasi antivirus.
7.      Tes lain yang biasa dilakukan sesuai dengan manifestasi klinik baik yang general atau spesifik antara lain :
a.      Tuberkulin skin testing
Mendeteksi kemungkinan adanya infeksi TBC.
b.      Magnetik resonance imaging (MRI)
Mendeteksi adanya lymphoma pada otak
c.       Spesifik culture dan serology examination (uji kultur spesifik dan serologi)
d.      Pap smear setiap 6 bulan
Mendeteksi dini adanya kanker rahim.
Mendiagnosis infeksi HIV pada bayi dari ibu yang terinfeksi HIV tidak mudah. Dengan menggunakan gabungan dari tes-tes di atas, diagnosis dapat ditetapkan pada kebanyakan anak yang terinfeksi sebelum berusia 6 bulan.

8.      PENULARAN DAN PENCEGAHAN
HIV dapat ditemukan pada semua cairan tubuh penderita, tetapi yang terbukti penularannya adalah melalui darah, air mani dan cairan serviks/vagina saja. Cara penularan HIV/AIDS ini dapat melalui :
1.      Hubungan seksual.
2.      Penerimaan darah atau produk darah melalui transfusi darah.
3.      Penggunaan alat suntik, alat medis dan alat tusuk lain (tato, tindik, akupuntur, dll.) yang tidak steril.
4.      Penerimaan organ, jaringan atau air mani.
5.      Penularan dari ibu hamil kepada janin yang dikandungnya.
6.      Sampai saat ini belum terbukti penularan melalui gigitan serangga, minuman, makanan atau kontak biasa dalam keluarga, sekolah, kolam renang, WC umum atau tempat kerja dengan penderita AIDS.
Dengan mengetahui cara penularan HIV, maka akan lebih mudah melakukan langkah-langkah pencegahannya. Secara mudah, pencegahan HIV dapat dilakukan dengan rumusan ABCDE yaitu:
1.      A= Abstinence, tidak melakukan hubungan seksual atau tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah
2.      B = Being faithful, setia pada satu pasangan, atau menghindari berganti-ganti pasangan seksual
3.      C = Condom, bagi yang beresiko dianjurkan selalu menggunakan kondom secara benar selama berhubungan seksual.
4.      D = Drugs injection, jangan menggunakan obat (Narkoba) suntik dengan jarum tidak steril atau digunakan secara bergantian
5.      E = Education, pendidikan dan penyuluhan kesehatan tentang hal-hal yang berkaitan dengan HIV/AIDS.

B.       PERAWATAN PALIATIF
1.    Manfaat perawatan paliatif antara lain :
a.    Meningkatkan kualitas hidup ODHA dan keluarganya.
b.    Mengurangi penderitaan pasien.
c.    Mengurangi frekuensi kunjungan ke RS.
d.   Meningkatkan kepatuhan pengobatan.
2.    Prinsip perawatan paliatif antara lain :
a.    Menghilangkan nyeri dan gejala-gejala yang menyiksa.
b.    Menghargai  kehidupan dan menghormati kematian sebagai proses normal.
c.    Tidak bermaksud mempercepat atau menunda kematian.
d.   Perawatan yang mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual, sosial, budaya dari pasien dan keluarganya termasuk dukungan berkabung.
e.    Memberikan dukungan untuk mengusahakan pasien sedapat mungkin tetap aktif sampai kematiannya.
f.     Memberi dukungan untuk menolong keluarga pasien melalui masa sulit dan sewaktu perkabungan.

C. TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN
1.         Identitas pasien dan penanggung jawab
Identitas pasien diisi mencakup nama, umur, jenis kelamin, status pernikahan, Agama, pendidikan, pekerjaan,suku bangsa, tgl masuk RS, alamat. Untuk penangung jawab dituliskan nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat.
2.         Riwayat Kesehatan
 Mengkaji keluhan utama apa yang menyebabkan pasien dirawat. Apakah penyebab dan pencetus timbulnya penyakit, bagian tubuh yang mana yang sakit, kebiasaan saat sakit kemana minta pertolongan, apakah diobati sendiri atau menggunakan fasilitas kesehatan. Apakah ada alergi, apakah ada kebiasaan merokok, minum alkohol,  minum kopi atau minum obat-obatan.
3.         Riwayat Penyakit
Penyakit apa yang pernah diderita oleh pasien, riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang pernah di derita oleh pasien yang menyebabkan pasien dirawat. Adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain yang bersifat genetik maupun tidak.

4.            Pengkajian Fisik.
a)      Aktivitas/ istirahat : mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, gangguan pola tidur.
b)      Sirkulasi : takikardia, sianosis, perubahan tekanan darah, pucat.
c)      Integritas Ego : stres, distress spiritual, penangkalan terhadap diagnosis, merasa bersalah, putus asa, depresi, cemas.
d)     Eliminasi : diare, perubahan pada haluaran urin, nyeri tekan pada abdomen, lesi atau abses rectal, perianal.
e)      Diit : anoreksia, mual, muntah, nyeri menelan, kehilangan berat badan, turgor kulit buruk, edema.
f)       Hygiene : tidak mampu melakukan aktivitas, kurang kebersihan diri.
g)      Neurosensori : sakit kepala, perubahan status mental, gangguan rasa, perubahan penglihatan.
h)      Kenyamanan : nyeri lokal atau keseluruhan badan, nyeri dada.
i)        Respirasi : batuk, sesak nafas, sputum kuning ( pada pneumonia yang menghasilkan sputum), perubahan suara nafas.
j)        Seksualitas : perilaku resiko tinggi, kehilangan libido, tidak menggunakan kondom, herpes.
k)      Interaksi sosial : kehilangan keluarga, teman, takut penolakan orang-orang sekitar, adanya stigma, isolasi, kesepian.
l)        Pendidikan : gagal terhadap terapi, meneruskan perilaku beresiko tinggi.

5.    Diagnosa Keperawatan
1.      Risiko tinggi infeksi oportunistik berhubungan dengan sistem pertahanan primer tidak adekuat, depresi sistem imun, lingkungan yang terpapar prosedur invasif, penyakit kronik, malnutrisi.
2.      Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan kerusakan otot pernafasan, secret yang tertahan, ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
3.      Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan atau gangguan kemampuan makan, mual, muntah
4.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan produksi energy metabolisme.
5.      Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosa dan program pengobatan jangka panjang berhubungan dengan kurangnya akses informasi komprehensif tentang HIV.

6.      Intervensi keperawatan
1. Risiko tinggi infeksi oportunistik berhubungan dengan sistem pertahanan primer tidak adekuat, deperesi sistem imun, lingkungan yang terpapar prosedur invasif, penyakit kronik, malnutrisi.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, perluasan infeksi atau sepsis tidak terjadi
Kriteria hasil :
-             Pasien dan keluarga mau berpartisipasi dalam perilaku mengurangi resiko infeksi
-             Luka/lesi pulih
-             Demam tidak ada
-             Tidak ada cairan atau secret yang purulen dari tubuh.
Intervensi :
1.      Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien. Anjurkan pasien/orang terdekatnya cuci tangan setelah kontak dengan pasien.
Rasional : mengurangi resiko/kontaminasi silang
2.      Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik
Rasional : mengurangi patogen pada sistem imun dan mengurangi kemungkinan pasien mengalami infeksi nasokomial
3.      Monitor tanda-tanda vital
Rasional : memberikan informasi data dasar.
4.      Terapkan standar precaution dalam seluruh kegiatan perawatan pasien
Rasional : penggunaan masker, skort dan sarung tangan dilakukan untuk kontak langsung dengan cairan tubuh
5.      Terapkan pembatasan pengunjung pada pasien
Rasional : mengurangi infeksi nasokomial
6.      Kolaborasi pemeriksaan laboratorium
Rasional : mengidentifikasi proses adanya infeksi.
7.      Kolaborasi pemberian antibiotic
Rasional : menghambat proses infeksi.

2  Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan kerusakan otot pernafasan, secret yang tertahan, ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
          Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, pola nafas pasien efektif
Kriteria hasil :
-             Tidak menggunakan alat bantu pernafasan
-             Tidak ada sesak nafas dan sianosis
-             AGD dalam batas normal
\Intervensi :
1.      Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan ventilasi dan adanya suara nafas tambahan
Rasional : memperkirakan adanya perkembangan komplikasi atau infeksi pernafasan
2.      Tinggikan kepala tempat tidur. Ajarkan dan anjurkan pasien batuk dan nafas dalam efektif.
Rasional : meningkatkan fungsi pernafasan yang optimal dan mengurangi aspirasi atau infeksi yang ditimbulkan karena atelektasis.
3.      Kaji perubahan kesadaran
Rasional : hipoksia dapat terjadi akibatnya adanya perubahan tingkat kesadaran mulai dari ansietas dan kekacauan mental sampai kondisi tidak responsif.
4.      Berikan istirahat yang adekuat
Rasional : menurunkan konsumsi O2
5.      Kolaborasi terapi O2
Rasional : mempertahankan ventilasi atau oksigenasi efektif  untuk mencegah atau memperbaiki krisis pernafasan.

3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan atau gangguan kemampuan makan, mual, muntah
           Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, status nutrisi dapat dipertahankan
Kriteria hasil :
-       Berat badan dapat dipertahankan
-       Tanda-tanda malnutrisi tidak ada
-       Adanya peningkatan berat badan
-       Mual dan muntah tidak ada
Intervensi :
1.      Identifikasi kemampuan pasien untuk mengunyah, merasa, menelan
Rasional : lesi mulut, sakit tenggorokan dan esofagis dapat menyebabkan disfagia sehingga menurunkan keinginan untuk makan
2.      Auskultasi bising usus
Rasional : mengidentifikasi hipermotalitas usus
3.      Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional : indikator kebutuhan  nutrisi/ pemasukan yang adekuat
4.      Berikan makan lunak dalam porsi kecil dan sering
Rasional : untuk menurunkan adanya mual dan muntah
5.      Catat intake makanan
Rasional : mengidentifikasi kebutuhan terhadap pemberian makanan
6.      Kolaborasi pemberian TPN
Rasional : untuk memenuhi kebutuhan makanan pasien.

          4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolisme
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, kemampuan aktivitas fisik pasien meningkat
Kriteria hasil :
-       Pasien dapat menunjukkan peningkatan kemampuan motorik
-       Pasien mampu melakukan aktivitas fisik secara bertahap
Intervensi :
1.      Kaji pola tidur/istirahat
Rasional : berbagai faktor dapat meningkatkan kelelahan termasuk kurang tidur.
2.      Bantu pemenuhan kebutuhan activity daily living pasien
Rasional : memungkinkan penghematan energy, peningkatan stamina.
3.      Pasang ambulasi untuk membantu aktivitas dan keamanan pasien
Rasional : mencegah terjadinya cidera

 5. Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosa dan program pengobatan jangka panjang berhubungan dengan kurangnya akses informasi komprehensif tentang HIV.
       Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan, pengetahuan pasien dan keluarga meningkat.
   Kriteria hasil :
-  Tercipta feedback positif dari materi penjelasan perawat
-     Pasien dan keluarga menyatakan komitmen dalam menjalankan program pengobatan jangka panjang.
Intervensi :
1.    Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga
Rasional : mengetahui untuk memberikan pengetahuan dasar
2.    Berikan informasi tentang penatalaksanaan dan cara penularan
Rasional : memberikan pengetahuan agar mengurangi penularan penyakit, meningkatkan kesehatan pada masa berkurangnya kemampuan sistem imun.
3.    Berikan pemahaman pasien tentang penyakitnya.
Rasional : agar pasien dapat menerima kondisi penyakitnya.




DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E., Marry, F..M  and  Alice, C.G., 2000. Rencana  Asuhan  Keperawatan :  Pedoman  Untuk  Perencanaan  Dan  Pendokumentasian  Perawatan  Pasien. Jakarta, Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.

Mansjoer, arif, et all (2000). Kapita selekta kedokteran. Jilid II. Medika Aeskulapius FKUI: Jakarta.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. (ed.6). (vol.2). Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC

Sumiati, dkk. (2009).  Asuhan Keperawatan penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA. Jakarta : Trans Info Media



Tidak ada komentar:

Posting Komentar